Rabu, 25 Februari 2015

Dirkusus Pendidikan

Sumber: Buton Pos
oleh : Andy Arya Maulana Wijaya

Kalau membahas tentang pendidikan memang tidak ada habisnya, pendidikan senantiasa mengisi ruang-ruang diskusi dengan apiknya. Terang saja kalau pendidikan adalah lentera yang akan senantiasa menerangi jalan-jalan kehidupan manusia. Karena itu kualitas suatu kota, daerah, dan masyarakat akan selalu diukur dari bagaimana kualitas pendidikan masyarakatnya. Ini sebuah tulisan reflektif dari saya, yang kemudian dimuat dalam harian Buton Pos. Barangkali Manfaat.

Syahdan, kualitas keterdidikan seseorang selalu dihubungkan dengan jenjang sekolah yang telah ditempuhnya serta tingginya nilai NEM/IPK-nya sedangkan kompetensi lainnya tidak terlalu diutamakan. Sederhananya kuantitas kognitif menjadi persepsi utama dalam  pendidikan ketimbang kompetensi yang lain. Padahal, pengalaman mencatat bahwa mereka yang terdidik secara kognitif ternyata banyaj yang tidak mampu memegang teguh etika moral, agama, dan sosial. Olehnya itu, boleh saja tingginya intelektualitas seseorang namun rendah integritasnya.

Jika memang kondisinya demikian, maka jangan bertanya kenapa pelaku korupsi di bangsa ini sebagian besar berada di lingkup orang-orang yang terlihat memiliki intelektualitas yang tinggi. Ada fenomena lain yang sedang hangat diperbincangkan tentang salah satu menteri kabinet kerja Jokowi-JK yang hanya lulusan sekolah menengah. Pandangan publik lalu mulai membanding-bandingkan antara tingkat pendidikan dan jabatan, kemampuan serta kompetensi, sambil kemudian diperhadapkan oleh fakta korupsi yang dilakukan oleh mereka yang terdidik.

Mencermati fenomena sekolah dan tingkat keterdidikan seseorang, memang masih menjadi diskursus tersendiri bukan saja dalam pandangan publik namun juga problematika administrasi pendidikan negeri ini. Kita kemudian perlu meluruskan pandangan seperti ini bahwa  proses pembentukan kepribadian dan karakter generasi melalui sekolah adalah sebuah proyek besar bagi kemajuan bangsa melalui pendidikan.

Sekolah (formal) dan Pendidikan

Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa hanya melalui sekolah formal-lah kita mendapatkan ilmu pengetahuan, yang pada akhir tiap tahapannya diberikan selembar kertas yang disebut ijasah. Sampai disitu, deretan ijasah yang didapatkan dari proses belajar di sekolah formal tersebut menjadi justifikasi bahwa seseorang adalah orang terdidik. Saya pikir ini adalah sebuah kekeliruan persepsi kita saat ini, seseorang boleh saja memperoleh deretan ijasah yang diperoleh dari sekolah formal yang dijalaninya, akan tetapi keterdidikannya belum tentu sejalan dengan perolehan tersebut.

Pada akhirnya timbul pertanyaan bahwa apakah jenjang sekolah bisa menjadi jaminan keterdidikan seseorang?. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan institusi sekolah kita, namun sekedar mengkritisi diskursus dalam cara berpikir kita tentang jenjang sekolah dan kadar keterdidikan seseorang.

Dalam paradigma pembelajaran, seseorang bisa saja memiliki jenjang sekolah formal mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi namun itu belum tentu menjamin integritas seseorang. Nilai-nilai moral, etika, agama, sosial masih dianggap bagian lain dari ranah intelektualitas seseorang. Rhenald Kasali mengingatkan tentang sebuah fakta bahwa kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi. Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian.

Pendidikan mestinya dipahami bukan saja sebagai pembentuk ranah kognitif seseorang, namun lebih besar dari pada itu yakni pendidikan sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan dunia luar, memahami dinamika sosial, memupuk kompetensi, berinteraksi dengan orang lain, memupuk optomisme, membangun integritas, dan tentu membentuk moral karakter seseorang.

Membenahi Persepsi

Sejatinya pemerolehan ilmu pengetahuan tidak terbatas pada ruang dan waktu yang hari ini kita kenal dengan sekolah formal dan jam sekolah saja. Saya percaya bahwa pendidikan itu adalah hak semua orang, dan tentu juga ini berkorelasi dengan bahwa setiap orang yang terdidik memiliki kewajiban untuk mendidik. Termasuk adalah sekolah itu bersifat universal, dalam artian bahwa dimanapun dan kapanpun bisa disebut sekolah dan setiap orang bisa menjadi guru sekaligus sebagai murid minimal bagi dirinya sendiri.

Mungkin dengan persepsi seperti ini, dapat menjadi kesadaran diri (self awareness) dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita mesti memahami bahwa kesadaran akan pendidikan itu penting. Terlepas apakah itu diperoleh melalui keluarga, sekolah formal, informal atau lingkungan.

Akhirnya, memposisikan diri bahwa meningkatkan derajat pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama adalah sebuah keniscayaan, kita perlu memahami bahwa pendidikan yang berkualitas adalah sebuah proses pendidikan yang senantiasa berdialektika dengan kondisi sosial budaya disekitarnya. Karenanya, Pendidikan kemudian bukan saja tanggungjawab pemerintah, sekolah atau guru semata namun semua pihak bertanggungjawab untuk itu. Sebagai awal, persepsi seperti ini mungkin bisa membantu pemahaman kita tentang pendidikan dan keterdidikan.


***

0 komentar :

Posting Komentar